TIMUR TENGAH

| |

Nuklir Iran dan Kepentingan Indonesia
Oleh: Kholil Misbach, Lc.


Undang-undang internasional sering mengandung banyak kemunafikan ketimbang keadilan; kebanyakan undang-undang ini digunakan untuk kepentingan hegemoni negara-negara besar daripada untuk kepentingan membantu negara-negara kecil dan lemah. Perjanjian non-proliferasi nuklir yang disetujui oleh sebagian negara dan tidak disetujui beberapa negara telah memperbolehkan lima di antara negara-negara besar memiliki senjata nuklir yang terdiri dari AS, Rusia, Inggris, Perancis dan China. Hal ini menyebabkan dunia terbagi menjadi dua bagian yaitu; negara bernuklir dan negara tidak bernuklir.

Negara-negara besar ini pada akhirnya berusaha untuk menghalangi negara-negara lain memiliki senjata nuklir, bahkan untuk kepentingan teknologi saja tidak mereka ijinkan. Hal ini pernah diungkapkan Presiden AS, Ronald Reagen tanggal 16 Juli 1981 bahwa, yang termasuk kewajiban AS dalam kebijakan luar negerinya adalah mencegah munculnya perkembangan kemajuan-kemajuan nuklir di negara-negara lain. Hal ini diungkapkan paska serangan Israel ke pusat reaktor nuklir Irak di Osirak tanggal 7 Mei 1981, dimana pada masa itu Israel baru saja diberitakan telah memiliki senjata nuklir.

Iran dan Korea Utara yang dalam hal ini termasuk negara kecil dan lemah akan sangat kesulitan mengembangkan teknologi nuklirnya. Sementara Barat, khususnya AS mengkhawatirkan Iran bisa mengoyak tirai keamanan regional yang bagi Barat merupakan kokon yang membentengi kompleks keamanan yang di dalamnya menyangkut eksistensi Israel.

Indikasi kasat mata terhadap kebijakan Barat tersebut bisa dilihat dari perbedaan standar sikap dan intensitas manuver AS dalam penyelesaian krisis nuklir Korea Utara. Bagi AS, Iran sebagai sebuah kekuatan nuklir lebih besar bahayanya terhadap kompleks keamanan dan tirai keamanan Israel, sebagai satu-satunya kekuatan nuklir di Timur-Tengah, dibanding Korea Utara.

Kekhawatiran Barat itu berbasis pada pernyataan Ahmadinejad yang ingin "menghapus Isreal dari peta dunia", bahwa Barat yang mesti "bertanggung jawab atas terjadinya holocaust, bukan bangsa Palestina", bahwa "suatu hari nanti Israel akan hancur", dan sebagainya. Kombinasi figur seorang Ahmadinejad dengan kekuatan nuklir Iran, secara luas mengakumulasi kekhawatiran tadi. Barat tidak mempercayai Iran jika kemampuannya memperkaya uranium pada tingkat pembangkit energi akan berhenti pada level tersebut, tetapi akan diteruskan untuk merekayasa bom nuklir, sebuah tuduhan yang dengan konstan dibantah oleh Teheran.

Hingga saat ini, perang urat-syaraf semakin intens. AS tidak mengesampingkan serangan-mendadak terhadap Iran. Sebaliknya, apabila diserang, Teheran menegaskan Iran akan menyerang semua kepentingan AS di seluruh penjuru dunia dan tentu saja, Israel. Usaha AS di Dewan Keamanan PBB untuk mengeluarkan resolusi terhadap Iran gagal mendapat dukungan bulat. Kini, solusi terhadap krisis menemui jalan buntu.

Mayoritas pihak yang bertikai termasuk Teheran, Washington, London dan Paris melihat bahwa celah diplomasi masih terbuka. Solusi militer tidak akan menyelesaikan persoalan. Diperkirakan jika opsi militer ini diambil oleh AS dan sekutunya, efeknya akan sangat berbeda dari suksesnya aksi serangan-mendadak yang dilakukan Israel terhadap fasilitas nuklir Osirak. Dalam kasus Osirak, Irak tidak memiliki kapabilitas militer yang memadai untuk melakukan serangan-balik terhadap aksi punitive yang dilakukan Israel karena telah letih dalam Perang Irak-Iran. Di samping itu, dukungan internal terhadap rezim Saddam Hussein sudah terfregmentasi dan tidak kohesif, serta absennya dukungan ideologis yang kuat. Teheran tampaknya kini memiliki semua aspek kapabilitas di atas.

Dalam kasus proliferasi nuklir Iran ini, posisi Indonesia cukup dilematis. Hal ini disebabkan tingkat ketergantungan Indonesia terhadap Barat masih tinggi di satu pihak, sedangkan di pihak lain, Indonesia adalah negeri yang berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia. Posisi inilah yang membuat Indonesia memberikan dukungan yang bersyarat kepada Iran dalam program nuklirnya. Indonesia hanya mendukung Teheran sejauh program proliferasi nuklir tersebut hanya untuk kepentingan damai yaitu sebagai sumber energi alternatif. Jakarta tidak mendukung Teheran jika teknologi tersebut dikembangkan menjadi bom nuklir.

Dukungan kondisional Indonesia itu adalah untuk mencegah agar Barat tidak teralienasi. Sebaliknya, jika Jakarta menolak rencana Iran secara mutlak maka tindakan itu bisa menurunkan dukungan mayoritas umat Islam terhadap pemerintah. Disamping itu, mendukung proliferasi damai Iran juga memiliki dasar strategis karena Indonesia akan melakukan hal yang sama dengan tujuan yang sama. Kemudian, menolak mendukung Teheran akan menyulitkan Indonesia untuk memperoleh dana investasi segar bernilai sekitar 600 juta US dollar di sektor negeri sebagaimana yang disepakati dengan Iran.

Alasan terakhir di atas cukup signifikan dalam mempengaruhi sikap Indonesia. Hasil survei yang dikeluarkan oleh LP3ES (lembaga pusat pengkajian politik, ekonomi dan sosial), 24 April 2006, produksi BBM Indonesia 1,055 juta barel per hari. Sedangkan kebutuhan harian BBM domestik Indonesia mencapai 1,35 juta barel. Jadi, ada defisit sekitar 300.000 barel per hari, yang hingga saat ini ditutupi dengan impor BBM. Dalam periode 2000-2004, LP3ES memprediksi biaya kerugian akibat selisih nilai ekspor-impor itu mencapai Rp. 12,2 trilyun.

padahal dewasa ini di penghujung tahun 2007, ketika harga minyak hampir menginjak angka 100 US $ perbarel, Indonesia hanya mampu memproduksi minyak 950.000 barel perhari.

Dalam konflik ini, Indonesia juga mengambil sikap menolak opsi atau aksi militer terhadap Iran. Pertama, karena Indonesia masih trauma dengan pretext dan dalih yang dipakai untuk menyerang dan menduduki Irak yang ternyata tidak menemukan stok senjata pemusnah massal yang mereka dengungkan. Jakarta khawatir kasus serupa bisa terulang pada Iran. Kedua, opsi tadi bisa berdampak negatif pada stabilitas domestik Indonesia. Ketiga, aksi tersebut bisa mempersulit upaya Indonesia untuk menjadi penengah dalam berbagai isu global paska insiden peristiwa 11 September 2001. Keempat, Indonesia akan mengirimkan pasukan selama mandatnya adalah pasukan penjaga perdamaian, sebagaimana di Libanon, tetapi jika bentuknya adalah pasukan multinasional sebagaimana di Irak dan Afghanistan, maka Indonesia tidak mempunyai tradisi untuk ikut serta.

Posisi dan sikap di atas barangkali sudah berada pada titik yang optimal dalam konteks kebijakan luar negeri Indonesia. Pragmatisme tadi beresonansi dengan kredo lama kebijakan luar negeri Indonesia yang diperkenalkan oleh Bung Hatta tahun 1948 yang "bebas" dan "aktif". "Bebas" di sini tidak bermakna "netral" atau mengambil "jarak yang sama" dalam berbagai persoalan dunia, tetapi "aktif" dalam kontribusi menemukan solusi terbaik, tentunya dalam rangka kesinambungan dan kesejahteraan Indonesia. Untuk mencapai kedua tujuan terakhir ini menjadi raison d'etre (arah pijakan ) dari kebijakan luar negeri setiap negara. Wallahu A'lam.

Posted by admin misykati on 6:11 AM. Filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

0 comments for "TIMUR TENGAH"

Post a Comment