HIKMAH

| |

KETIKA POSISI MENENTUKAN PRESTASI ?!

Oleh: Wachid Romadhon, Lc.


Suatu ketika saya menghadiri undangan seorang penduduk sederhana di kampung, beliau sengaja mengundang saya untuk tilawah al-Qur`an. Tak lama setelah berbasa-basi, Sang Bapak masuk ke kamar dengan niat mengambil mushaf. Dengan sopan mushaf saya terima, namun antara menahan tawa dan sedih saya pelan-pelan berujar, ”maaaf Pak, ini bukan mushaf, ini kitab shalawatan”. Ternyata beliau tidak bisa membedakan mana mushaf dan mana kitab shalawat karena sama-sama berbahasa Arab.

Di momen yang berdekatan ada seorang remaja meminta terapi dengan ruqyah syar`iyah. Gangguan yang diderita cukup berat sehingga harus menjalani terapi intensif. Ketika saya minta dia membaca ayat kursi, dia tersenyum simpul sembari mengatakan, “maaf mas, saya ndak bisa baca tulisan Arab, saya ndak bisa ngaji Qur`an”.

Untuk ukuran orang awam seperti bapak dan anak remaja di atas, toleransi masih bisa diberlakukan. Jujur saja, itu memang realita kehidupan muslim di negara kita. Kalaupun tidak bisa dikatakan mayoritas, tapi cukup menjadi satu fenomena yang memprihatinkan. Namun melalui tulisan kecil ini saya ingin menggugah jiwa duta bangsa, yang akan pulang mengajarkan agama kepada orang-orang seperti bapak dan remaja yang saya temui di atas. Memberi pencerahan ke bumi yang sedang menangis karena banyaknya derita.

Indonesia mempunyai komunitas muslim terbanyak sedunia, tapi banyak kalangan mengatakan bangsa kita sedang menjalani azab Allah. Saya pernah berdiskusi dengan seorang teman Mesir, intinya saya tidak terima kalau Indonesia terkena azab, jangan terlalu mudah memvonis masalah. Tapi ringan dia ber-argumen, “Saya tidak menafikan bahwa kemaksiatan yang terjadi di negaramu juga banyak terjadi di Mesir dan negara-negara Arab lain. Tapi kami punya banyak Ulama dan Da`i, sementara kalian dengan jumlah yang luar biasa besar, namun Ulama dan Da`inya sangat sedikit. Akhi..Apa jadinya kalau para santri yang calon da`i, pemberi pencerahan kepada masyarakat tapi mushaf dan buku-buku tafsir di rumahnya berdebu, tersungkur di bagian paling bawah rak buku. Sementara buku-buku hiburan dan kaset musik tersusun indah di rak paling atas. Apa yang bisa diharapkan dari bangsa terbesar umat Islamnya, kalau calon da`inya sudah bosan dengan tilawah al-Qur`an dan mengkaji ilmu.”

Argumen yang cukup panjang itu perlahan membalik paradigma saya. Saya sering khawatir kalau krisis multidimensi yang menimpa negara kita sebenarnya malah disebabkan oleh kita sendiri sebagai bangsa, kita sebagai pencari ilmu agama yang semakin jauh dari ajaran agama, sebagai pembawa cahaya al-Qur`an tapi semakin dalam tenggelam dalam gulita permainan dunia. Kita yang selalu memperkaya tsaqofah tapi tidak pernah mau mengaplikasikannya.

Saya selalu khawatir kalau bencana beruntun di negeri khatulistiwa itu merupakan jawaban dari aduan Rasulullah Saw.,” Rasul berkata: wahai Tuhanku, sesungguhnya kaumku mengambil al-Qur`an sebagai sesuatu yang tidak diacuhkan”(Q.S al-Furqan: 30). Atau bukti kebenaran firman Allah dalam surat al-A`raf, ayat 96: ”Jikalau seandainya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa (kepada Allah), pastilah kami limpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat-Ku) sehingga aku berikan mereka azab akibat apa yang mereka perbuat”.

Orang-orang bijak pernah berpesan "Ma halaka imru`un ‘arafa Qadra nafsihi" (Tak akan celaka orang yang kenal harkat dirinya). Telah banyak orang binasa karena terlalu tinggi memasang harga di atas realita dirinya. Betapa banyak tokoh yang mengaku dirinya ulama warotsatul anbiya` akan tetapi mengambil keteladanan beliau secara tidak tepat. Maunya dikenal masyarakat, tapi tidak mau berjuang dan menderita sebagaimana yang dirasakan sang Nabi saw. Manusia jenis ini lebih mirip dengan Bal`am yang hidup di masa nabi Musa.

Banyak yang lenyap dari peredaran karena terlalu murah menghargai dirinya; dengan wahm ‘tawadhu’ atau perasaan “tidak mampu” dan “tidak punya apa-apa”. Rasulullah menasihati kita, “janganlah engkau menganggap remeh dirimu, yaitu ketika mendapati suatu perkara yang dia harus ikut urun bicara demi –ridla- Allah tapi kemudian malah diam seribu bahasa”.

Selebihnya adalah jenis orang yang berjalan dalam tidur atau tidur sambil berjalan. Tepatnya pengigau berat. Ia tak pernah bisa menyadari dimana posisinya, apa yang terjadi di sekitarnya dan apa bahaya yang mengancam umatnya. Berat memang menyadarkan orang yang otaknya berjelaga, egois dan hanya melihat apa yang mereka anggap hak, tanpa kesadaran seimbang akan kewajiban.

Seorang Muslim yang tulus dan bersemangat tinggi pasti akan mempunyai paradigma mulia dan cerdas. Dia akan menyadari penuh posisi dan potensinya dalam usaha perbaikan bangsa dan umat. Nah, marilah kita menengok diri masing-masing, dengan kesadaran penuh. Setiap kita berpotensi memberikan konstribusi dalam dakwah dan perbaikan umat ini. Hanya saja ada satu jenis kemiskinan yang sesegera mungkin diperangi. Kemiskinan ‘azam dan tekad, kemiskinan ini lebih memprihatinkan dari sekedar miskin harta.

Indonesia ibarat kapal pesiar yang sedang berusaha menggapai pelabuhan kesejahteraan. Dari setting ini, tentukanlah dimana posisi kita; penonton yang mencari hiburan, penunggu yang tak punya empati, atau pengharap kegagalan usaha dakwah perbaikan karena ada yang tak sejalan dengan persepsi mereka. Atau penuntun dan pengikut dengan pengenalan sistem navigasi yang akurat dan keyakinan yang mantap, bahwa laut tetap bergelombang dan di seberang ada pantai harapan, pelabuhan kesejahteraan.[]

Posted by admin misykati on 6:07 AM. Filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

0 comments for "HIKMAH"

Post a Comment