SASTRA

| |

TAK MUNGKIN IMAM ITU MASUK SURGA !

Oleh : Sindbad Caesar

"Allahu Akbar....." gema takbir shalat Tarawih bergemuruh di masjid at-Taqwa kampung Kulak Beras. Masjid yang memilki luas 15 X 10 meter itu biasa dipenuhi jamaah dari berbagai penjuru kampung. Sejak beberapa tahun yang lalu, shalat Tarawih setiap malam biasa khatam 1 juz al-Qur'an atau kalau sudah melewati tanggal 15 Ramadlan bisa lebih dari satu juz agar 30 juz dapat dikhatamkan sebelum bulan suci ini usai.

Kebiasaan khataman Ramadlan ini diadakan sesuai rapat pengurus takmir masjid setempat yang ingin menyemarakkan malam-malam bulan suci. Awalnya, para takmir masjid agak khawatir kalau jamaahnya malah sedikit. Tapi entah karena apa, masjid itu justru dipenuhi jamaah, padahal biasanya orang-orang lebih memilih masjid yang Tarawihnya cepat, bahkan kalau saja ada yang hanya baca setelah Fatihahnya "Yaasiiin..." kemudian ruku’, biasanya masjid yang seperti itu yang dikerubungi orang-orang, tau sendiri lah, gimana perilaku semut kalo ketemu gula. Tapi masjid At-Taqwa ini lain. Meski bacaannya satu juz setiap malam, panjang, tapi jamaahnya malah membludak. Konon, kata orang-orang, Imamnya yang lulusan pondok pesantren itu mantap berwibawa dan suara bacaannya sangat merdu dan renyah didengar.

"Assalaamu'alaikum warahmatullaah...." salam Imam telah mengakhiri shalat Witir malam itu. Tak jauh dari tempat Imam, paling sudut kanan dekat tembok, Yanto ikut mengakhiri shalat dengan terkantuk-kantuk, matanya merah kayak banteng ngamuk, ngantuk banget gara-gara kelelahan membersihkan karpet masjid sebelum shalat Tarawih dimulai.

Ya.., Yanto adalah satu-satunya pengurus takmir masjid yang tinggal di dalam masjid. Dulunya dia adalah perantau gagal yang dilemparkan nasib hingga akhirnya jadi pengurus masjid At-Taqwa. Sudah hampir 7 tahun ia diberi tanggung jawab untuk menjaga kebersihan masjid dan melayani tamu-tamu Allah yang datang, dan sebagai imbalannya ia diberi kamar khusus untuk ditinggali di dalam masjid tersebut.

Setelah selesai shalat Witir, seperti biasa ia bergegas bangun untuk membagi-bagikan air minum dan makanan ringan pada jamaah dibantu oleh anak-anak kecil kampung di bawah komandonya, makanan ringan hasil amal jariyah orang kaya setempat.

Ia bekerja full time mengurusi keperluan masjid tersebut. Setiap habis Subuh menyapu pekarangan masjid, kemudian membersihkan ruang dalam. Siangnya terkadang mengantar beberapa undangan acara yang diadakan masjid, dan sebelum acara dimulai dialah yang paling merasa bertanggungjawab atas kebersihannya, soalnya ia sendiri yang tinggal di situ. Yanto memang benar-benar seorang pekerja giat yang amat ikhlas, bahkan teramat ikhlas, ia pernah berkata bahwa apa yang dikerjakannya hanya untuk Alah semata, lillahi ta'ala!.

Namun di balik itu, ia memendam sebuah perasaan benci, perasaan benci berapi-api yang bisa meledak suatu saat. Sebenarnya dia sudah tak terlalu kuasa untuk menggotong beban perasaannya sendirian, namun dia merasa belum mendapatkan orang yang bisa dia percayai, sebab yang dibatinnya adalah masalah yang sensitif sekali. Hanya ada satu tempat curhatan menurut dia, Pak Budi!

***

Fajar yang hening. Selepas bersih-bersih masjid untuk persiapan jama’ah Shubuh, Yanto diundang makan sahur bersama Pak Budi di rumahnya. Pak Budi sendiri adalah ketua takmir masjid yang paling akrab dengan Yanto meski selisih umur keduanya seperti paman dan keponakan.

"Ayo dimakan, To!", seru Pak Budi dengan ramah.

"Anggap saja seperti rumah sendiri", imbuhnya.

Yanto sendiri mengangguk kemudian makan, namun masih banyak berdiam. Pikirannnya berputar kencang sekencang ia memasukkan kepalan nasi Bandeng ke mulutnya. Dia bertanya-tanya dalam hati, "Apakah Pak Budi orang yang bisa kupercaya untuk kuceritakan semuanya? Sudah terlalu lama aku menimbunnya sendirian, aku rasa ini saat yang tepat untuk aku sampaikan ke Pak Budi. Baiklah! Toh, Pak Budi sudah menganggapku seperti keluarganya sendiri, dan begitu pula diriku".

"Pak Budi...", seru Yanto.

"Ya... ada apa, To?", jawab Pak Budi.

"Aa..aada yang ingin saya sampaikan, Pak?", kata Yanto agak pekewoh.

"Masalah masjid atau .... lagi butuh sangu...?", balas Pak Budi sambil tersenyum ringan.

Yanto ikut tersenyum juga, senyum kecut, lalu ngomong lagi, "Bukan ini dan bukan itu, Pak!"

"Lantas....."

"Eee.ee...begini, Pak! Tapi Bapak jangan marah ya.."

"Hahaha...sejak kapan aku pernah marah sama kamu. Masak saya mau marah sama takmir masjid terajin sejagad raya.. Hahaha!"

"Saya harap Bapak benar-benar begitu. Eee..e..Saya punya beban pikiran yang senantiasa mengganjal diri saya. Setiap malam mengiang-ngiang di kepala. Susah sekali untuk saya lenyapkan dari kepala.."

Yanto terdiam sejenak dan Pak Budi masih dengan santai meneliti tulang belulang ikan Bandeng yang ada di depannya, barangkali masih ada dagingnya, sambil menunggu kata-kata Yanto selanjutnya.

"Imam masjid itu, Pak! Saya rasa dia takkan masuk surga!", kata Yanto dengan emosi sambil membatin bahwa Pak Budi bakal menghardiknya atau, kemungkinan paling buruk, melempar tulang Bandeng ke mukanya.

Tapi tidak, hanya kaget sedikit lalu Pak Budi tertawa lepas kemudian membalas, "Aah.. kamu ini semakin lama semakin aneh saja. Masak Pak Imam gak bakal masuk surga? Darimana kamu tahu?... Hahaha.."

Yanto yang sebelumnya agak pekewoh campur takut untuk menyampaikan, jadi semakin menggebu, rasa pekewohnya terjatuh dari ruas-ruas badannya setelah melihat Pak Budi malah tertawa.

"Iii..ya, Pak! Imam itu takkan masuk surga. Dia kurang ikhlas dalam beramal, hanya pamer suara ama hafalan Qur'annya, Pak!. Lihat saja, dia selalu datang ke masjid tak tepat waktu, masak udah 20 menit enggak dikomat-komati hanya untuk nunggu datangnya Imam yang sok itu, kadang juga malah absen, kan kasihan jamaahnya tho? Apa dia nggak merasa kalo ditunggu? Bikin gusar jamaah aja. Paling-paling shalat Tarawihnya aja yang datang agak tepat, supaya suaranya yang merdu dan hafalan Qur’annya yang banyak bisa dipamerkan ama jamaah kali. Coba kalau saja ada orang lain hafal 30 juz seperti dia, biar tak usir Imam yang sekarang, paling tidak, tak usulkan di rapat mingguan takmir supaya diganti. Pokoknya kelihatan sekali nggak ikhlasnya lah, Pak! Gak akan masuk surga!!", seru Yanto dengan emosi yang berapi-api. Maklum, volcano yang sejak dulu mengendap dan menjadi beban pikirannya kini meletus.

Pak Budi hanya tertawa tanpa menanggapi. Tawanya lain, semakin pelan, tawa diplomatis, mungkin ia lebih memilih tertawa daripada menyalahkan takmir terajin di masjidnya, atau mungkin Pak Budi menganggap hal itu cuma statement kanak-kanak yang tak perlu ditanggapi serius.

Tapi kemudian ia menanggapi juga, "Kamu nih ada-ada saja, To! Sejak kapan kamu bisa ngintip surga sampai kamu tahu ia ga bakal masuk surga?"

"Wah... pokoknya dia kurang ikhlas lah, Pak! semuanya cuma buat pamer... pamer!. Dia ga bakal masuk surga!", seru Yanto mantap beremosi.

Pak Budi tetap tidak menanggapi statement Yanto, kecuali hanya tertawa, yang kadang agak keras, kadang senyum tanpa suara.

Lalu Yanto terdiam dengan mimik muka yang lebih serius, sambil terbayang-bayang di hadapannya wajah Imam masjid yang semakin membuatnya muak tak beraturan.

Melihat Yanto semakin serius dan terdiam lama, Pak Budi ingin mencairkan suasana dengan mengganti topik percakapan, "To.. undangan peringatan Nuzulul Qur’annya apa sudah disebar semua?"

Yanto mengangguk kemudian menjawab, "Dua lagi, Pak!".

"Ooo.. kalo begitu cepat diberikan siang ini supaya kedua tamu undangan itu bisa ikut acara kita. Keburu terbentur dengan undangan yang lain", balas Pak Budi sambil mencelupkan tangannya ke dalam mangkok air basuh.

Yanto mengangguk pelan, masih serius, sementara bayangan Imam itu semakin membesar di hadapannya, bahkan wajah Imam itu kini terlihat terkekeh-kekeh mengejek Yanto yang gusar.

Beberapa saat kemudian, Yanto meminta ijin untuk melanjutkan pekerjaannya, meski bayangan imam belum lagi lepas dari hadapannya, "Ah, dasar imam tai! Aku yang akan masuk surga!", batinnya.

Siangnya, ba'da Dhuhr, ia bersepeda ontel untuk menyerahkan sisa undangan. Seperempat menit, satu undangan telah disampaikan. Tinggal satu lagi, pikirnya. Sambil menggenjot kencang sepedanya, ia menelusuri ruas jalan yang lumayan ramai. Dan... GOOBRAAAAK !!!!!... Sebuah bis angkutan umum melemparkan tubuhnya yang kecil dengan bantingan keras di sebuah tikungan. Orang-orang mengerubunginya kayak tawon.

***

Dua hari kemudian, masih di bulan Ramadlan, pukul 2 siang lebih sedikit, di sebuah pemakaman umum Kulak Beras. Belasan orang memadati lokasi pemakaman. Tertulis di atas nisan, YANTO BIN PAIMAN, TELAH PULANG KE SURGA-NYA PADA TANGGAL 13 OKTOBER 2006. Tampak bersama belasan pelayat itu, Pak Budi dengan wajah sedih mengkoordinir upacara pemakaman. Dan tak jauh darinya.... Imam itu! Ya, Imam masjid yang tak tahu percakapan Yanto sebelumnya, tampak dengan lugu memimpin doa, sudah tentu dengan suaranya yang merdu.

Cairo, 11 Nopember 2007

(sebuah karya pamitan, mohon maaf setulus atau dua tulus jiwa..)

Posted by admin misykati on 5:55 AM. Filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

0 comments for "SASTRA"

Post a Comment