POTRET

| |

Masisir Kurang Menulis; Betulkah!?
Oleh: M. Fuad al-Amin*

Manusia terlahir ke dunia ini dengan begitu banyaknya kelebihan yang dimiliki. Ia dianugerahi cipta, rasa, dan karsa. Dan dalam mengekspresikan ketiga hal tersebut, manusia memiliki sebuah kecakapan, yaitu menulis. Budaya tulis menulis merupakan bagian dari aktivitas yang tak terpisahkan dari makhluk yang berakal ini. Sejak zaman dahulu orang mulai menulis. Ide-ide serta memori yang ada dalam otak, mereka coba terjemahkan dalam bahasa tulisan. Muncul sebuah anggapan, bahwa tinggi rendahnya sebuah peradaban dilihat dari seberapa besar kecakapan penduduk tersebut dalam menulis.

Menulis merupakan suatu hal yang tidak mudah. Tidak sembarangan orang bisa melakukan aktivitas tersebut. Buktinya, berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik tahun 2005, lebih dari 15 Juta penduduk Indonesia masih berada dalam hantuan buta huruf. Dengan data tersebut, tentunya akan kita temui lebih banyak lagi prosentase penduduk yang buta dalam tulis menulis. Prosentase buta tulis tentunya akan lebih besar dari buta aksara/buta huruf. Bisa jadi mencapai hingga sekitar 30 Juta-an penduduk. Sungguh sangat menakutkan.

Krisis buta tulis bukan hanya sindrom yang melanda negeri kita saja, hampir seluruh negara di dunia mengalami problem yang sama. Namun hal tersebut tentunya tidak perlu kita dramatisir terlalu dalam. Riset akhir-akhir ini mengatakan bahwa, tingkat buta baca dan tulis semakin berkurang dari tahun ke tahun dengan program pendidikan yang telah digalakkan masing-masing negara. Pernyataan tersebut senada dengan apa yang disampaikan oleh Dr. Stephen D. Krashen, Doktor jebolan Universitas California bidang linguistik dalam bukunya yang berjudul “Benarkah Ada Krisis Melek Huruf”?

Krisis tersebut begitu dahsyatnya hingga sampai ke tengah-tengah Masisir. Barang kali terlalu radikal kalau dibilang buta huruf atau tulis. Lebih tepatnya kurang cakap dalam menulis. Masisir yang notabenenya adalah kaum akademis, tentunya menjadi garda depan dalam pemberantasan krisis tersebut. Namun, hal ini disayangkan banyak kalangan. Sehingga beberapa tahun yang lalu muncul statement bahwa mahasiswa jebolan universitas-universitas Timur Tengah lemah dalam metodologi penulisan dan riset. Hal ini lebih diperkuat lagi dengan tingginya prosentase ketidaknaikan mahasiswa Indonesia di Universitas al-Azhar. Berdasarkan data statistik pendidikan yang tercatat di Atase Pendidikan dan Kebudayaan (ATDIKBUD) KBRI Mesir tahun 2005, lebih dari 40% mahasiswa tidak berhasil dalam ujiannya. Sungguh jumlah yang sangat ironis.

Mencermati fenomena di atas, banyak kalangan yang menyatakan tentang penyebab tingginya ketidaklulusan tersebut, di antaranya yaitu, kurang cakapnya mereka dalam menulis. Kurang cakap dalam artian:

1. Kurang memenuhi standar penulisan yang benar, sehingga sang pengoreksi akan merasa kebingungan dengan tulisan yang dibuat berbunyi seperti apa;

2. Kurang mampu dalam menerjemahkan ide-ide serta gagasan yang ada dalam otaknya ke dalam sebuah tulisan. Atau bisa dikatakan tulisan belum bisa memahamkan sang pembaca dengan struktur penulisan yang tidak jelas. Barang kali ini yang kerap dirasakan Masisir.

Ada juga yang secara radikal mengatakan, semua ini dikarenakan sistem pengajaran di universitas yang kurang menekankan pada kemampuan menulis. Mahasiswa kurang dituntut untuk mengembangkan skill menulis mereka dalam kuliah. Masih jarang ditemukan tugas-tugas menulis yang diberikan kepada mahasiswa. Berbeda dengan perkuliahan yang ada di Indonesia, hampir setiap pekan mahasiswa dituntut untuk membuat paper/makalah. Begitu ujar salah seorang mahasiwa di Universitas yang bersangkutan.

Terlepas dari sistem atau bukan penyebab dari semua ini, yang jelas ini merupakan permasalahan bersama yang perlu dibahas. Kesalahan tentunya kembali kepada pribadi masing-masing. Mereka yang tidak melatih dirilah yang salah. Bukan dengan mengkambing-hitamkan yang lain.

Merespon problematika di atas, tentunya diperlukan sebuah upaya untuk menyelesaikannya. Dan Masisirpun ternyata tidak tinggal diam. Seminar-seminar serta pelatihan menulis mulai banyak digalakkan. Klub belajar dan berlatih menulis mulai bermunculan. Ini merupakan bukti nyata dari mulai berkembangnya proses aktualisasi potensi dalam menulis.

Dan yang tak kalah menariknya lagi, berbagai macam buletin, majalah, selebaran, dan media cetak lain semakin menjamur dimana-mana. Zaman dahulu mungkin baru buletin Têrobosan-lah, satu-satunya media Masisir untuk mengembangkan bakat menulis. Sekarang telah menjamur memenuhi hampir seluruh sisi Masisir. Bahkan bisa dikatakan setiap organisasi memiliki minimal satu media. Ada yang bertujuan menyalurkan bakat anggota, ada juga yang sekedar menunjukkan eksistensi organisasi tersebut, atau hanya sekedar untuk gengsi?.

Selain dari beberapa hal di atas, ternyata berbagai kalangan Masisir memiliki inisiatif tersendiri untuk menampung bakat menulis mereka. Dalam hal ini media blog yang banyak menjadi alternatif. Ada lebih dari 100 blogger Masisir ikut meramaikan alam maya ini. Media yang satu ini memang cukup elegan, sehingga banyak diminati Masisir.

Media blog saat ini banyak sekali digemari banyak kalangan. Bahkan pemerintahpun tak ketinggalan ikut memberikan dukungan terhadap media tersebut. Terbukti pada tanggal 27 Oktober 2007 lalu, Muhammad Nuh, Menteri Komunikasi dan Informatika, meresmikan momentum tersebut sebagai hari blogger nasional.

Beranjak ke permasalahan Masisir yang tentunya masih berhubungan erat dengan dunia tulis menulis, permasalahan yang cukup urgen yaitu terkait pendidikan usia dini yang akhir-akhir ini mendapatkan sorotan banyak kalangan. Jaminan pendidikan yang secara jelas termaktub dalam undang-undang Indonesia, rasanya belum seluruhnya merata. Masih banyak kalangan yang belum merasakannya.

Katakan jumlah pasangan keluarga yang ada sekarang sekitar 100 Kepala Keluarga (KK). Jika tiap keluarga memiliki 1 anak, berarti ada sekitar 100 anak, bahkan mungkin lebih dari jumlah tersebut. Jumlah yang cukup besar. Tentunya hal ini butuh perhatian yang serius dalam menghadapinya. Dari sekitar 100 anak tersebut, sudahkah mereka mendapatkan pendidikan yang cukup? Jawabannya, jauh dari kata cukup. Rata-rata mereka belajar membaca, tulis menulis dari apa yang diajarkan oleh kedua orang tuanya.

Pendidikan yang memadahi dirasa sulit diperoleh. Apa yang menyebabkan semua ini? Mungkin kita bisa mengatakan: sarana yang kurang memadahi. Sarana yang ada saat ini terbilang sangat kurang. Sekolah Indonesia Kairo yang banyak menjadi alternatif pendidikan usia dini, ternyata belum bisa menjadi solusi. Selain biaya yang cukup mencekik leher Masisir, dari segi transportasipun sangat kurang memungkinkan.

Masa depan pendidikan mereka tentunya perlu lebih diperhatikan. Jangan sampai setiba mereka di Indonesia kelak, akan mengalami kesulitan dalam mengikuti studi. Tentunya harus ada penambahan sarana pendidikan untuk para anak usia dini.

Masisir saat ini dirasa telah banyak berbenah diri dalam hal tulis menulis. Terbukti dengan banyak usaha yang telah dilakukan seperti di atas. Namun di balik semua itu, ternyata banyak sisi-sisi yang kurang mendapatkan perhatian. Di antaranya dalam bidang akademik prestasi dan soal pendidikan usia dini. Semoga ke depan hal ini akan lebih dipertimbangkan lagi. Buat teman-teman Misykatian, semoga tetap semangat dalam mengembangkan diri dalam tulis menulis.[]

* Dept. Pendidikan Misykati

Posted by admin misykati on 6:38 AM. Filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

0 comments for "POTRET"

Post a Comment