KAJIAN UTAMA

| |

Perbedaan Makna Istilah Hasan dalam Kajian Hadits Nabawi
Oleh: Ahmad Sulthoni*

Mukaddimah

Ilmu Hadits dikenal sebagai salah satu disiplin ilmu yang menjadi corak khas keilmuan Islam, sebagaimana pembahasan sanad sebuah hadits yang begitu dalam diteliti dengan standar kebenaran tertentu. Kajian ini telah dilakuakan sejak generasi awal dari umat ini, meskipun kodifikasi baru dimulai pada abad ke-3 Hijriyah. Karya-karya para ulama pun tak terhitung jumlahnya, baik yang berupa kumpulan hadits yang sederhana, panjang lebar dalam pembahasannya, ataupun dalam bentuk nadhom dan syarah-nya. Ibnu Sholah (643 H) dengan muqaddimah-nya telah memberikan awalan yang cukup rapi untuk mengumpulkan seluruh pembahasan yang dicakup oleh disiplin ilmu ini. Dilanjutkan dengan karya-karya para penerusnya seperti Imam Nawawi dengan Tadrîb al-Râwi-nya, al-Iraqi dan as-Suyuthi (911 H) dengan alfiyyah-nya, juga Ibnu Hajar al-Asqalany (852 H) dengan Nukhbah al-Fikar dan Nuzhatu al- Nadhar-nya.

Dalamnya kajian ilmu hadits bukan hanya tergambar dari proses bagaimana menetapkan ke-shohih-an sebuah riwayat. Bahasan pelik pun akan kita dapati pada istilah-istilah yang digunakan oleh para ulama hadits dalam klasifikasi kekuatan riwayat sebuah hadits. Hal ini terjadi karena pada masa awal pengumpulan hadits-hadits nabawi, tidak ada kesepakatan dari para ulama akan makna pada istilah-istilah yang sama-sama mereka gunakan. Hal ini bisa kita lihat dalam pemakaian istilah hasan oleh para ulama hadits dalam berbagai masa. Dan dalam tulisan singkat ini akan ada sedikit ulangan pembahasan yang telah disampaikan oleh Dr. Hamid bin Hamdan al-'Ali dalam Majallah al-Syarî'ah wa al-Dirâsah al-Islâmiyyah yang diterbitkan oleh Kuwait University, Desember 2005.

Pembahasan I: Makna Hadits Hasan

Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Nuzhatu al-Nadhar-nya menyebutkan pergertian hadits hasan sebagai berikut:

"خبر العدل خفيف الضبط متصل السند غير معلل ولا شاذ".

Sedangkan Imam Tirmidzi (279 H) yang hidup beberapa abad sebelumnya, menyebutkan hadits hasan dengan definisi:

"كل حديث يروى لا يكون فى إسناده من يتهم بالكذب , ولا يكون الحديث شاذا, ويروى من غير وجه نحو ذالك, فهو عندنا حديث حسن"

Berbeda dengan dua ulama tadi, Abu Sulaiman al-Khathabi (388 H) mendefinisikan hadits hasan dalam karyanya "ma'alim al-sunan":

ما عرف مخرجهو واشتهر رجاله وعليه مدار أكثر الحديث وهو الذي يقبله أكثر العلماء ويستعــمله عامة الفقهاء".[i]

Pembahasan II: Pemakaian Istilah Hasan

Istilah hasan sebenarnya telah ada sejak abad-abad awal Hijriyah. Para ulama masa itu seperti Imam Malik bin Anas (179 H), Imam Ahmad bin Hanbal dan beberapa ulama lainnya pun telah menggunakannya, meskipun istilah tersebut belum begitu jelas makna yang dimaksudkan oleh sang penutur. Sebagai contoh adalah riwayat Abu Hatim ar-Râzi (265 H) yang berisi tentang perkerjaan menyela jari kaki dengan jari tangan saat berwudhu. Ketika Imam Malik ditanya perihal riwayat tersebut, ia menjawab: "Tidak aku dapatkan orang-orang (penduduk Madinah) melakukan perbuatan itu, maka aku meninggalkan hadits itu". Abu Hatim lalu berujar: "Bagi kami perbuatan itu adalah sunnah", dan ia pun menyebutkan hadits dengan muatan isi yang sama dengan riwayat yang berbeda. Imam Malik berkata : "Sungguh ini adalah hadits Hasan,….", lalu Imam Malik menyerukan kepada para muridnya untuk melakukan perbuatan tersebut.

Perkataan Imam Malik, "Ini adalah hadits Hasan.." ternyata mengandung beberapa makna. Bisa dipahami hadits tersebut adalah baik (hasan) dari segi makna dan kecocokannya dengan masalah yang sedang mereka bincangkan, atau bisa dipahami pula sebagaimana makna istilah hasan yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar. Hal ini dikarenakan dalam sanad hadits yang disampaikan oleh Abu Hatim tersebut terdapat seorang rawi bernama Yazid bin 'Amru. Rawi tersebut dikatakan صدوق atau لا بأس به , dan kata tersebut bagi para ulama hadits tidaklah dimaksudkan untuk menolak riwayat. Namun terma itu sering disematkan pada para perawi yang menurut para ulama jarh wa ta'dîl ”khafîfu al-dzabthi” atau agak lemah dalam hafalan.[ii]

Ibnu Hibban sendiri dalam hal pemakaian istilah hasan berbeda dengan ulama lain. Ia menyamakan makna dan maksud dari dua istilah shahih dan hasan. Hal ini telah diungkapkan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathu al-Bâri ketika ia membahas hadits tentang sholawat `ala Nabi SAW. Hadits tersebut diriwayatkan dan di-shohih-kan oleh para Ahlu Sunan (para ulama yang telah mengarang kitab-kitab sunan), Imam Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah (311 H), dan juga al-Hakim. Mereka semua meriwayatkan hadits tersebut dari jalan Muhammad bin Ishaq dan tidak ada jalan lain selainnya.[iii]

Sebagian ulama lain justru meng-ithlâq-kan istilah hasan pada hadits dha`îf. Hal ini terjadi apabila kelemahan dalam sanad hadits itu hanya bersifat kecil. Di antara para ulama tersebut adalah Imam Ali bin Abdillah bin Ja'far al-Madini (234 H). Sebuah hadits diriwayatkan oleh Syarik dengan sanadnya hingga 'Ammar yang meriwayatkannya dari Rasulullah SAW. "Barang siapa mempunyai dua wajah di dunia, maka ia akan mempunyai dua lisan dari api kala hari kiamat nanti". Ibnu al-Madini berkata tentang hadits tersebut:"إسناده حسـن". Sedangkan sang perawi, ia adalah Syarik bin Abdillah an-Nakha'i al-Qadhi, dan Ibnu al-Madini menilainya dengan perkataannya: "شريك أعلم من إسرائـيل, و إسرائـيل أقل خطأ منه" . Komentar ini dipahami oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dengan kata: "صدوق يخطيء كثيرا", dan ia pun menempatkan nama Syarik dalam Thabaqah al-Tsâniyyah min al-Mudallisîn, atau para ulama yang dicurigai melakukan manipulasi riwayat hadits. Dan cacatnya seorang rawi dalam sanad sudah tentu akan menggugurkan ke-shahih-an hadits yang dikandungnya.[iv]

Contoh lain dalam pemakaian istilah hasan adalah kisah putra Abu Hatim al-Râzi. Suatu saat ia bertanya kepada ayahnya tentang Mu'awiyah bin Sholeh, sang ayah pun menjawab: "صالح الحديث, حسن الحديث, يكتب حديثه, ولا يحتج به". Kalimat Abu Hatim tersebut amatlah jelas bahwa ia telah memakai istilah hasan untuk seseorang yang riwayat haditsnya tidak bisa dipakai untuk berhujjah. Meskipun sosok Mu'awiyah bin Sholeh dalam kacamata beberapa imam yang lain seperti Imam Ahmad dan Abu Zur'ah tetaplah seorang yang tsiqqah. Terlepas dari hasil akhir tarjih kualitas kekuatan Mu'awiyah dalam sanad, dalam pembahasan ini kita hanya melihat bagaimana istilah hasan itu dipakai oleh Abu Hatim yang merupakan seorang tokoh dalam kajian hadits.[v]

Dari beberapa contoh diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa pemakaian istilah hasan oleh para ulama dalam kajian hadits tidak dimaksudkan sebagai satu definisi yang sama, namun ada hasan lidzâtihi seperti maksud dari definisi Ibnu Hajar, ada hasan yang dimaksudkan dha`îf yasîr (sedikit lemah), ada hasan lighairihi, yang merupakan hadits dha`îf tapi dikuatkan oleh riwayat lain, ada pula hasan bermakna ‘baik’ dengan hanya dilihat dari segi maknanya.


Penutup

Pemahaman tentang manhaj para ulama hadits dalam mendefinisikan satu istilah tertentu sangatlah penting. Menerapkan definisi seorang ulama akan suatu istilah pada karya ulama lain yang ternyata memiliki definisi lain dalam istilah yang sama tentunya akan menjadi suatu kesalahan fatal. Cercaan ataupun tuduhan negatif bisa saja dilemparkan kepada para ulama terdahulu hanya karena kesalahan menerapkan istilah-istilah yang memang bukan pada tempatnya.


[i] Hal. 23, Mushthalah al-hasan baina al-nadhariyyah wa al-tathbîq, Majallah al-Syarî'ah wa al-Dirâsah al-Islâmiyyah, Kuwait University, No. 13 tahun ke-20, Desember 2005.

[ii] Ibid, hal 24-25

[iii] Lebih jelas lihat Fathu al-Bâri Syarh Shahih al-Bukhari, jilid 11, hal 184 (penerbit Darussalam).

[iv] Hal. 29-30 Majallah al-Syarî'ah wa al-Dirâsah al-Islâmiyyah, Kuwait University, No. 13 tahun ke-20, Desember 2005.

[v] Ibid, hal 33


*) Mahasiswa tingkat akhir Jurusan Hadits Universitas al-Azhar Kairo.

Posted by admin misykati on 6:46 AM. Filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

0 comments for "KAJIAN UTAMA"

Post a Comment