kolom

| |

Bulan Ramadhan; Sebuah Momentum
Oleh: Munirul Ikhwan*


Keberhasilan adalah sesuatu yang ingin diraih semua orang. Namun, keberhasilan tidak dapat dipukul rata dengan interpretasi yang sama. Keberhasilan bersifat relatif, tergantung dari mana kita melihatnya dan dihubungkan dengan siapa. Fathu Makkah adalah salah satu fenomena keberhasilan dakwah Islam. Juga kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah salah satu bentuk keberhasilan yang diraih bangsa Indonesia. Keduanya tidak datang begitu saja. Tetapi ada usaha dan perjuangan panjang dan melelahkan yang ditempuh para pejuangnya. Sebelum Fathu Makkah, Nabi di Makkah telah melalui masa-masa sulit ketika berdakwah kepada kaum pagan. Dengan perjuangan yang gigih Nabi berhasil mengajak beberapa orang Makkah untuk masuk Islam. Bersama beberapa sahabatnya itu Nabi hijrah ke daerah yang lebih menjanjikan dakwah Islam, maka terpilihlah Madinah. Di Madinah Nabi bertemu dengan banyak Ahlu Kitab khususnya dua suku Aus dan Khazraj. Di Madinah Nabi mulai membentuk komunitas plural yang terdiri dari muslim Ahlu Kitab dan beberapa masyarakat Madinah yang belum memeluk Islam maupun agama samawi lainnya. Damikian halnya dengan proklamasi kemerdekaan, kemerdekaan yang diraih bangsa Indonesia bukanlah semata-mata hadiah dari kolonialisme Belanda. Tapi hasil jerih payah semua elemen Bangsa. Dengan semboyan satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa, kemerdekaan pun dicapai juga.

Sebagai mahasiswa juga mempunyai target keberhasilan. Secara umum keberhasilan mahasiswa adalah ketika dia mampu mengikuti mata kuliah dengan baik, mampu mengaktualisasikan diri dengan lingkungannya, mampu mengenal diri dan identitasnya dan mengerti akan tanggung jawab dan kewajiban. Idealnya semua unsur di atas harus ada dalam diri seorang mahasiswa. Mata dasar kuliah merupakan materi dasar yang harus diambil seorang mahasiswa. Karena dengan itu, mahasiswa berbekal pengetahuan sebagai dasar dalam aktualisasi diri, megenal identitas dan tanggung jawab.

Ada banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan di antaranya lingkungan, teman bergaul, kemauan dan ketekunan. Dua yang pertama adalah faktor ekstern sebuah keberhasilan, sedang dua setelahnya adalah faktor intern yang datang dari diri sendiri. Faktor ekstern ibarat frame atau paradigma kasar keberhasilan. Faktor ini selalu menyediakan fasilitas-fasilitas keberhasilan bagi yang mau menggunakannya. Faktor ekstern sangat penting dalam menyokong keberhasilan. Namun, tidak berarti keberhasilan harus selamanya bergantung pada faktor ekstern tersebut. Dan bahkan faktor ini tidak berfungsi apa-apa selama tidak diikuti oleh faktor yang timbul dari dalam (intern). Ya, tidak lain adalah kemauan, tekad dan ketekunan. Faktor intern mempunyai kekuatan dasyat dalam memacu diri dan pantang menyerah. Selama faktor intern ini dapat diorganisir dengan baik, maka kita mampu menciptakan faktor ekstern keberhasilan. Misalnya, seorang mahasiswa dengan ketekunannya ingin lulus ujian. Maka, dengan semangat yang timbul dari dalam itu, dia dapat menciptakan lingkungan yang kondusif untuk belajar. Dia mampu mempengaruhi teman-teman sekitarnya untuk menciptakan iklim yang sejuk dan produktif. Jadi, semua bertolak dari dalam.

Esensi keberhasilan pada hakekatnya adalah dari dalam ke luar (inside out) bukan dari luar ke dalam (outside in). Permasalahannya kemudian adalah bagaimana memunculkan semangat dari dalam (inside out). Memang tidak bisa datang begitu saja, butuh yang namanya momentum. Momentum ini berbeda antara individu satu dengan lainnya. Ada sebagian orang yang dapat membangun semangatnya ketika dia bertemu tokoh besar, ada juga ketika dia duduk-duduk santai di kafe (sambil nyisa), duduk di pantai melihat ombak, ketika merayakan ultahnya atau bahkan ketika memasuki bulan-bulan bersejarah. Ada banyak momentum yang dapat digunakan untuk membangun semangat.

Sebagai umat Islam, bulan Ramadhan adalah sebuah momentum. Menurut makna etimologinya, Ramadhan berasal dari kata ra-ma-dha yang berarti membakar. Di bulan ini umat Islam membakar diri dengan berpuasa untuk mensucikan jiwa. Seperti besi yang dibakar untuk menghilangkan karatnya. Ada kejadian-kejadian penting yang terjadi dalam bulan ini. Di antaranya, pada bulan ini al-Qur`an diturunkan, umat Islam diwajibkan berpuasa dan terdapat malam kemuliaan (Lailatul Qadr). Diturunkannya al-Qur`an, berarti awal pijakan bagi petunjuk Tuhan, karena al-Qur`an diturunkan sebagai pedoman hidup. Diwajibkannya puasa bagi umat Islam dimaksudkan untuk mensucikan jiwa dari sifat riya` dan mendekatkan diri dengan sifat ikhlas. Karena hanya Allah Swt yang tahu puasa seseorang dan hanya Dialah yang dapat menilai. Sedang malam Lailatul Qadr adalah salah satu keistimewaan bulan ini. Sebagaimana kata al-Qur`an Allah mengutus Malaikat turun ke dunia untuk membawa berkah. Setidaknya ketiga kejadian penting di atas menginspirasikan sifat optimisme akan keberhasilan. Keberhasilan mendapat petunjuk, mensucikan diri dari sifat buruk dan puncaknya mendapat karunia Tuhan.

Seorang muslim yang baik tentunya tidak akan meningggalkan momentum ini berlalu begitu saja. Nuansa optimisme yang ditanamkan Islam melalui bulan suci Ramadhan akan membangkitkannya untuk membangun semangat, menumbuhkan etos kerja dan rasa tanggung jawab. Firman Allah dalam al-Qur`an, “Dan katakanlah: bekerjalah kamu sekalian maka Allah akan melihat pekerjaan kamu, juga Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman.” Hal ini menunjukkan bahwa Islam pun sangat peduli dengan optimisme, tanggung jawab, etos kerja yang tinggi dan profesionalisme. Seorang muslim dituntut hal-hal di atas dalam setiap pekerjaannya, karena pada hakekatnya, disaksikan Allah sebagai Tuhan, Nabi Muhammad Saw sebagai pembawa risalah, dan orang-orang yang beriman sebagai saudara seakidah.

Jika bulan Ramadhan menanamkan sifat optimisme dan ketulusan, maka kita coba untuk jadikan bulan ini sebagai momentum untuk membenahi diri kita, membangun semangat untuk melangkah ke depan. Bermula dari diri sendiri, kitalah yang menentukan masa depan kita, bukan orang tua, bukan guru kita dan bukan teman kita. Kita hanya bisa menjadi diri kita, kita tidak bisa menjadi orang lain. Oleh karenanya semuanya berpijak dari dalam diri bukan dari luar. Kita tidak bisa menjadi diri orang lain. Memang semuanya tidak dapat terjadi secara instan, tidak ada makan siang gratis, semuanya butuh proses, butuh perjuangan dan butuh ketekunan. Karena dibalik itu semua bersemayam keberhasilan. Pepatah Perancis mengatakan “Aprés la pluie le beau temps” (Bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian).

*anggota kajian misykati center

Posted by admin misykati on 6:22 PM. Filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

0 comments for "kolom"

Post a Comment