kajian utama

| |

MELEDAKKAN ESQ DI BULAN RAMADHAN

Prepared by : M. As`ad Mahmud, Lc.


Apa rahasianya, ketika seorang Muhammad SAW berhasil mengubah komunitas terbelakang penyembah batu di ranah arab menjadi masyarakat berperadaban tinggi dan pemimpin-pemimpin besar yang mampu merubah sejarah (min ubbadil hajar ila quwwadil basyar)? Bagaimana mereka, orang-orang arab jahiliyah itu, secara drastis berubah menjadi masyarakat yang unggul dan menyejarah? Rahasianya banyak. Tapi yang penting dicatat, yang pertama dilakukan Rasulullah SAW pada bangsa Arab adalah merekonstruksi tatanan spiritualnya. Rasulullah SAW sangat berkepentingan menata struktur keyakinan bangsa arab mengenai hubungan manusia dengan Tuhan. Sebab dari situlah segala potensi akan termaksimalkan. Untuk gamblangnya, kita bisa membaca mukaddimah surat Al An`am di tafsir fi dhilalil qur`an karya Sayyid Quthb. Di samping itu, ada banyak referensi yang bisa dikaji tentang hakikat kematangan spiritual. Tapi untuk sementara biarlah kita melihatnya dengan kesimpulan sederhana, bahwa kematangan spiritual adalah jembatan yang menghubungkan manusia dengan Tuhannya.

Di negeri barat, banyak orang yang setelah meraup kesuksesan, lalu terdampar pada pertanyaan mengusik; apakah semua keberhasilan selalu berorientasi pada fisik dan kebendaan? Adakah teori yang dapat melahirkan muara selain hanya materi dan hubungan antar manusia? Adakah ketenangan spiritual yang bisa membuat manusia nyaman di atas segala kesuksesan materi? Permasalahannya menjadi rumit, karena selama ini kajian yang mengarah ke kematangan spiritual ini ditekuni oleh orang-orang barat, yang notabene tidak memiliki keyakinan yang mapan terhadap hakikat ketuhanan. Sehingga kajiannya muter-muter ke mana-mana. Sayang memang, bahwa di kalangan umat islam, seperti yang pernah dikeluhkan Anis Matta, kesadaran untuk mengkaji secara serius mengenai hal ini masih minim.

Anda mungkin pernah mendengar Stephen Covey, Danah Zohar, Napoleon Hill dan nama-nama lain yang berderet-deret panjangnya, yang justru karya-karya mereka menjadi referensi di Indonesia. Membaca buku-buku mereka, yang sejujurnya sangat menarik itu, ada semacam kebuntuan ketika pembahasan mulai merembet ke arah sumber ketenangan jiwa. Bagi kita orang muslim, sebenarnya permasalahannya tidak sulit-sulit amat. Sebab stuktur keyakinan kita jauh lebih mapan dan komprehensif. Tentang kematangan spiritual, kita mendapatkannya dalam konsep ihsan, yaitu bagaimana kita merasakan hidup dan bekerja di bawah pengawasan Allah SWT. Inilah puncak kematangan spiritual kita. Dengannya, kita akan membebaskan segala tingkah laku kita dari belenggu duniawi, merdeka sebagai hamba, dan menyandarkan penilain total kepada Allah SWT.

Dari kematangan spiritual, lahir kematangan emosional. Menurut Robert K. Cooper kematangan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi dan pengaruh yang manusiawi. Terlalu rumit bukan? Bandingkan dengan gambaran islam mengenai kematangan emosi ;

“…seseorang yang mampu mengelola nafsunya, dan bekerja untuk (bekal) sesudah mati”

Penggalan hadis ini menggambarkan kematangan emosi adalah kemampuan untuk memaksimalkan sifat-sifat positif dalam diri manusia. Dari sini lahir deretan sifat-sifat terpuji seperti ulet, tekun, tabah, jujur, kreatif, motivasi yang tinggi untuk berprestasi, tenang menghadapi tekanan, saling percaya, berempati dan ketulusan mencintai orang lain. Selanjutnya, kemampuan mengaplikasikan sifat-sifat terpuji itu disandarkan pada orientasi jangka panjang, yaitu sebagai bekal untuk hidup sesudah mati. Memang dekat sekali dengan kematangan spiritual. Kondisi spiritual yang matang akan mudah melahirkan kecakapan emosi yang brilian. Itulah mengapa dalam Al Qur`an perintah sholat disandingkan dengan amar ma`ruf nahi munkar, atau juga perintah zakat berefek pada kesucian dan ketenangan jiwa. Dengan kata lain, ketika aktifitas spiritual kita yang berbentuk ibadah mahdlah tidak melahirkan sikap mental yang positif, berarti ibadah kita tidak efektif, atau kematangan spiritual kita masih harus diasah lagi.

Pertanyaan-pertanyaan bernada bingung dari orang-orang barat di atas menggambarkan bahwa kematangan mereka berhenti di tingkat emosional. Untuk hubungan antar manusia, mereka sukses. Tapi, ketika mencari sumber kekuatan itu, mereka terhenti di jalan buntu. Sebaliknya, sebagian masyarakat muslim kadang cenderung berlebihan dalam memproporsikan nilai-nilai spiritual, dan dengan mudah memarjinalkan kesuksesan yang bersifat duniawi. Kedua kelompok masyarakat ini adalah korban dari pemahaman yang tidak integral tentang fitrah penciptaan manusia. Karena itulah, kemudian Ary Ginanjar Agustian secara brilian menggabungkan kedua jenis kecerdasan itu menjadi rumusan teori yang kita kenal dengan Emotional Spiritual Quotient (ESQ).

Sekarang kita ingin menghubungkan ESQ ini dengan keberkahan bulan ramadhan. Kita ingin meledakkan potensi ESQ itu sekarang, di bulan ini, saat tipu daya syaithan dibelenggu, saat pahala dilipat gandakan, dan pintu keampunan dibuka lebar-lebar. Maka tidak ada jalan lain, sekaranglah saatnya kita mengerahkan segala potensi emosional spiritual kita. Mengerahkan potensi emosional berarti memaksimalkan amal sholih kita dalam dimensi horisontal. Konsentrasinya terletak pada bagaimana keberadaan kita bisa membawa manfaat sebesar-besarnya bagi orang lain. Seperti memperbanyak sedekah, berkata jujur, mencintai dengan tulus, dan membantu tanpa kompromi. Sedangkan mengerahkan potensi spiritual berarti memaksimalkan amal sholih kita dalam dimensi vertikal. Meluruskan niat, memperbanyak dzikir dan tilawah, mendirikan sholat malam dan segala bentuk peribadatan lainnya.

Dan sebagai penutup, mari kita renungkan biak-baik, mengapa Allah memulai perintah puasa dengan seruan "hai orang-orang yang beriman" lalu diakhiri dengan "supaya kamu bertaqwa". Pembahasannya bisa panjang. Tapi cukuplah kita merasa nyaman menyimpulkan bahwa kemampuan mencapai derajat ketakwaan di bulan ramadhan ini hanya dimiliki oleh orang-orang yang memiliki kematangan emosional dan spiritual, yang mana keduanya berbasis pada struktur keimanan yang kokoh.

Posted by admin misykati on 6:26 PM. Filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

0 comments for "kajian utama"

Post a Comment