sastra

| |

Lelaki di sebuah senja*


Aku bertemu dia pada sebuah senja. Saat aku singgah pada sebuah mushola kecil di kawasan Klender. Hari yang melelahkan. Pekerjaan yang menumpuk membuat aku harus pulang satu jam lebih lambat dari biasanya. Dalam perjalanan pulang baru kuingat aku tadi belum shalat Ashar. Laju mobil kuperlambat. Berharap bertemu masjid sebelum habis waktu. Tepat di sebelah kiriku ada mushola. Segera kutepikan mobil dan bergegas mengambil wudlu. Pfff.. untung masih terkejar.

Adzan maghrib setengah jam lagi. Kupikir lebih baik sekalian sholat disini. Saat itu kulihat Lelaki muda berwajah teduh sedang mengepel lantai.

"Assalamu'alaikum." Dia menyapa

"Wa'alaikum salam."

"Pulang kerja Pak?"

"Iya, baru dari kantor. Kebetulan belum sholat Ashar. Jadi mampir dulu. Takut ngga keburu. Ini istirahat dulu, sekalian nunggu adzan."

"Oo… begitu. Maaf pak, saya permisi dulu. Mo ngeberesin kerjaan."

"Oia, silahkan."

Selepas sholat Maghrib aku masih berada di mushola itu. Hmm, nampaknya orang-orang yang sholat disini sama sepertiku. Sekedar mampir. Itu kukenali dari wajah-wajah penuh lelah dan aroma keringat yang pekat memancar dari tubuh mereka. Tiba-tiba seseorang menyapaku, “Masih disini pak?”. Lelaki muda tadi rupanya. “Iya.” jawabku. “Nanggung pulang jam segini. Jalanan masih macet.”

Percakapanpun bergulir diantara kami.

“Sudah lama disini? ”

“Baru setahun.”

“Dari Jawa? ”

“Kok Bapak tahu? ” Ada tanda tanya di wajahnya.

“Kira-kira aja,” Jawabku sambil tersenyum.

“Saya datang dari Solo.”

“Solo?? Saya pernah beberapa kali kesana. Urusan bisnis.”

Lelaki itu terus bercerita. Tentang mengapa ia datang ke Jakarta. Sebetulnya dia sudah kuliah di sebuah PTS di Solo. Semester tujuh. Karena keinginan untuk belajar agama kuat, ia mendaftarkan diri di sebuah lembaga pendidikan Islam dan bahasa Arab di daerah Mampang. Beruntung, ia diterima dan berhak menerima beasiswa selama kuliah.

“Kok ga diselesein dulu kuliahnya? Kan sayang. Udah semester tujuh kan? ”

“Ngikutin kata hati aja pak. Kalo memang udah manteb kenapa ga dijalani? ”

Betul juga anak ini. Seringkali aku harus kalah dengan kondisi karena terlalu sering mengikuti suara dari luar. Bukan dari apa yang keluar dari nurani sendiri.

“Trus gimana bisa nyampe Klender? ”

“Itulah pak. Saya kadang ga habis pikir. Betapa murahnya Allah sama saya.”

Dia bertutur tentang peristiwa seusai shalat Jum’at di masjid kampusnya. Ketika membaca Qur’an, seseorang yang belum dikenal datang. Menawarkan untuk menjadi marbot, karena orang tadi harus pulang kampung. Tawaran itu diterima. Sejak itu dia bekerja disini dengan gaji dua ratus ribu perbulan. Selain membersihkan masjid, ia bertugas untuk adzan dan terkadang menjadi imam jika pemilik mushola tidak datang.

“ Capek bener ya dek? Selain kuliah masih harus bersih-bersih dan jadi imam? ”

“ Ga papa kok pak,” jawab dia. “Lha wong saya sendiri yang memilih jalan ini. Ya harus dijalani sepenuh hati.”

“ Bener sih, tapi apa cukup duit dua ratus sebulan buat hidup di Jakarta? ”

“ Kalo cukup tidaknya kan tergantung masing-masing orang pak. Kalo saya kan paling cuma buat naik metro ke kampus sama makan saja. Alhamdulillah cukup. Dan Allah sungguh Maha Asih pak, tiap malam pemilik mushola ini mengantar makan malam kesini. Kata pembantu yang biasa nganterin, baru saya penjaga mushola yang diservis seperti ini. Sebelumnya ga pernah. Malah sering dimarah-marahi”

Aku tersenyum. “ Beruntung sekali kamu ini. Selalu dapat kiriman tiap malam. Jangan-jangan kamu punya doa khusus ya?”

“Ah,bapak ini ada-ada aja. Kalo berdoa ya biasa pak. Tapi saya selalu ingat pesan almarhumah Ibu saya. Beliau bilang kalo doa itu ga usah macem-macem. Cukup satu. Minta dicukupkan di dunia dan akhirat. Itu thok!”

Kata-kata tadi serupa aliran listrik yang tiba-tiba menyengatku. Betapa bodohnya aku. Seringkali menuntut hal-hal yang remeh saat berdoa. Minta jodoh, minta segera mendapat pekerjaan, minta lulus ujian, dan berbagai tetek bengek lain. Bukankah rumusan tadi sangat sederhana; berdoa untuk kecukupan di dunia dan akhirat. Toh Allah Maha Mengerti. Dia mengetahui apa yang kita butuhkan saat ini.

“Kenapa pak? Kok diam saja?”,sahutnya membuyarkan anganku.

“Ah, enggak. Cuma kepikiran omongan kamu tadi. Ternyata yang aku yakini selama ini salah.”

“Salah gimana pak?”

“begini, selama ini aku ngerasa, bahwa kita sebagai makhluk boleh minta apa saja sama Tuhan. Sayangnya kita seringkali salah menggunakan hak meminta. Terlalu menuntut. Minta ini itu. Padahal yang kita minta itu hal yang kecil. Hal yang remeh-remeh.”

“Memang seperti itulah manusia pak. Lha wong sudah digariskan dalam Al Qur’an, bahwa manusia diciptakan berkeluh kesah. Tapi justru disitulah letak kemuliaan.”

“Kok bisa begitu?” tanyaku penasaran.

Jawabnya,” Ya pasti. Asalkan kita bisa meminimalisir, atau bahkan membunuh potensi negatif yang dimiliki maka hal itu akan membedakan status kita di hadapan Allah.”

Uraian lelaki muda itu begitu menarik untuk kucerna. Meski terdengar klise. Tapi bukankah hal itu justru merupakan sesuatu yang esensial tentang penciptaan manusia. Bahwa manusia memiliki potensi positif dan negatif. Hasilnya kembali pada sejauh mana ia bisa mengendalikan dua kutub berlawanan tadi. Apakah ia akan memaksimalkan potensi kebaikan atau justr sebaliknya; potensi keburukan yang dipelihara.

Lelaki muda itu menambahkan,” Setiap orang pasti menerima nikmat dari Allah. Sayangnya, hanya sedikit yang benar-benar mau bersyukur. Apalagi…” Tiba-tiba ia berhenti. “Maaf pak, sebentar lagi Isya’. Sebaiknya kita ambil wudlu dulu.

“Ah, cepat sekali ya? Sampai ga terasa udah masuk Isya’” kataku.

Dia lebih dulu beranjak. Mengambil wudlu.

Jama’ah Isya’ kali ini lebih banyak dari Maghrib tadi. Hampir dua shaf penuh. Lelaki muda itu berdiri di belakang imam. Tampaknya pemilik mushola.

Selepas Isya’, aku duduk di beranda mushola. Menanti lelaki muda menyelesaikan shalat sunatnya. Ah, tampak olehku ia mengambil mushaf yang terletak diatas mihrab. Biarlah kutunggu. Toh aku tak tergesa-gesa. Bujangan sepertiku tak harus pulang awal. Aku masih ingin melanjutkan obrolan dengannya.

“Masih disini pak?” Lelaki muda itu, ia sudah selesai rupanya.

“Iya. Masih betah” jawabku sekenanya.

“Kalo Isya’ lebih rame ya?” tanyaku membuka lagi percakapan.

“Soalnya udah pada pulang kerja. Jadi banyak jama’ahnya.” ia menjelaskan.

“Sebentar lagi puasa.” kataku datar. “Pasti lebih rame lagi.” tambahku.

“Memang pak, lebih rame. Tapi kadang malah sedih.”

“Kenapa? Kerjaan tambah??” aku bertanya.

“Bukan itu pak, tapi coba lihat saat puasa. Semua datang ke masjid. Tua,muda, laki-laki, perempuan, semua berangkat. Tapi setelah puasa selesai, selesai pula ke mesjidnya”

Aku tersenyum. Memang seperti itulah wajah kita. Datang ke mesjid saat puasa dan shalat Jum’at saja.

“Sekarang memang beda. Dulu ga ada yang namanya buku kegiatan Ramadlan. Anak-anak disuruh ngisi daftar hadir tarawih dan ditandatangani oleh imam atau khatib yang mengisi kultum. Ujung-ujungnya malah bikin gaduh. Sholat ga bisa khusyuk.”

“Namanya juga anak-anak pak, dimaklumi saja. Ibadah kan ga cuma tarawih saja.”

“Iya sih. Tapi kan lebih nikmat kalo bisa lebih tenang.” Kataku membela diri.

“Ah, saya jadi pengen nadzar”

“Nadzar apa pak?”

“Nazar kalo tahun ini bisa puasa penuh. Saya mau ambil cuti ke Mekah. Mau umrah.”

“Ibadah kok pake syarat?”

“Memang kenapa? Nazar kan ga dilarang?”

“Betul itu pak, tapi buat saya kok rasanya gimana. Mbok ya sudah biasa saja. Kita berupaya dan hasilnya dikembalikan sama Yang Di Atas. Orang nazar itu pelit. Mo ibadah saja harus ada sesuatu dulu. Allah bukan pedagang, Dia akan memberi meski tanpa imbal balik sekalipun. Tapi ini pendapat saya pribadi lho pak, anda boleh setuju atau tidak.”

Lelaki muda itu kembali tersenyum. Tampak matanya yang teduh. Tak terlihat sedikitpun sorot menyalahkan dari wajahnya. Kulirik jam di tanganku. Astaga! Hampir jam sembilan. Sudah malam rupanya. Akhirnya aku berpamitan kepada lelaki muda itu. Dia mempersilahkan sekaligus mengantar ke tempat mobilku diparkir. Saat kubuka pintu mobil, aku teringat akan sesuatu yang belum aku tahu.

“Dek, tadi kita sudah ngobrol lama. Tapi malah belum menyebutkan nama. Saya Cakra.” Kataku sembari menyodorkan tangan.

“Saya Umar pak,” sambil menyambut dan menjabat tanganku erat. “Kalo bapak ada waktu, silahkan singgah kemari lagi.”

“Terima kasih. Insya Allah saya kesini lagi.”

Dalam mobil yang melaju masih berlalu-lalang potongan-potongan adegan percakapan dengan lelaki muda bermata teduh tadi. Lelaki muda itu bernama Umar. Nama itu mengingatkan aku akan figur seorang sahabat Nabi yang dikenal keras dan tegas. Namun teduh mata itu?. Umar sangat berbeda. Entah mengapa. Rasanya tak seharusnya ia menyandang nama itu. Bukankah masih banyak nama lain yang mungkin lebih pas dengan pembawaan dia? Ah, baru ingat sekarang. Ada seorang khalifah yang bernama Umar. Mungkin nama itu dinisbatkan kepada beliau. Sudahlah. Toh nama itu diberikan oleh orang tuanya dengan harapan suatu saat sang anak akan terberkati oleh kesamaan nama dengan orang-orang besar tadi.

Diam-diam tumbuh semacam harapan untuk pertemuan berikutnya. Pertemuan dengan lelaki bermata teduh. Semoga, bukankah esok masih ada senja?.

________________________________________________

*Nanang Musha.

Posted by admin misykati on 4:41 PM. Filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

0 comments for "sastra"

Post a Comment